Geologi Zona Rembang

on Minggu, 26 September 2010

Geomorfologi

Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.


Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.


Stratigrafi

Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).


Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda.


Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).


Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.


Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).


Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).


Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :


1. Formasi Tawun

Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong

Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

3. Formasi Bulu

Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.

4. Formasi Wonocolo

Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

Struktur Geologi

Pada masa sekarang (Neogen – Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton, 1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).

Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.

Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung.

Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur – Barat.

Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).

Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.

Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding – Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.

Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :

Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur Tenggara.

Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.