on Selasa, 19 Mei 2009

Reklamasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah

Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). 

Ruang lingkup reklamasi lahan meliputi: 

(1) pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan 
(2) mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi tersebut adalah terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya (Direktorat Jenderal Mineral Batubara Dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006).

Menurut Sujitno (2007), arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari aspek teknis adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan tidak rawan erosi. Dari aspek ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah diperbaiki agar nilai/potensi ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya seperti keadaan semula. Dari aspek ekosistem, upaya pengembalian kondisi ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini revegetasi/reforestisasi adalah upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek tersebut. Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi. 

Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang ((Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). Menurut Setiadi (2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air. 

Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada Pasal 30 dari Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Penambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 46 ayat (4) disebutkan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum. 

Pada Pasal 46 ayat (5) disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang KP sebelum meninggalkan bekas wilayah KP. 

Peraturan pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum. Pada Pasal 12 ayat (1) reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada Pasal 13 ayat (1), Kepala Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang, termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.

Pulau Timah yang Hijau


Penambangan timah kerap menurunkan kualitas tanah bahkan menghilangkan flora dan fauna yang hidup di areal sekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya reklamasi dan revegetasi yang bisa mengembalikan kesuburan lahan bekas pertambangan. 

Sore yang indah. Perkebunan kepala sawit di kaki gunung sebelah timur sebuah kampung di tanah Bangka Belitung (Babel) seperti garis panjang yang membelah Matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulit pucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyala-nyala.

Pada saat bersamaan Ical, lakon utama dalam novel Sang Pemimpi tengah membicarakan persoalan serius dengan saudara sepupunya Arai melalui telepon. Mereka membahas kerusakan lingkungan karena ulah PN Timah dan jumlah ganti rugi yang akan mereka tuntut karena tanah ulayat rusak berantakan. “Tiga miliar rupiah untuk air minum yang tercemar phyrite, empat miliar rupiah untuk risiko kontaminasi radio aktif, tujuh miliar rupiah kompensasi beban psikologis karena kesenjangan sosial, dan dua miliar rupiah untuk hancurnya habitat pelanduk,” usul Arai berapi-api.

Sepenggal percakapan antara Ical dan Arai dalam novel karya Andrea Hirata itu setidaknya cukup memberikan gambaran betapa eksplorasi timah di Babel menimbulkan multiefek. Tidak hanya terhadap tanah ulayat, yakni sebidang tanah yang di atasnya terdapat hak suatu masyarakat hukum adat tertentu tapi juga terhadap kondisi sosial masyarakat setempat. 

Kepulauan Babel yang memiliki luas 18.724,74 kilometer persegi itu memang dikenal sebagai daerah penghasil timah. Di sana dibangun penambangan timah terbesar di Indonesia yang telah berlangsung sejak zaman Kolonial Belanda. Saat ini, penambangan bijih timah tersebut dikelola oleh PT Timah Tbk dan PT Koba Tin.

Luas area kuasa pertambangan (KP) PT Timah Tbk di darat sekitar 360 ribu hektare atau sekitar 35 persen dari luas daratan Pulau Bangka. Badan usaha milik negara ini juga memiliki areal KP darat di Pulau Belitung seluas 126.455 hektare atau sekitar 30 persen dari luas daratan Pulau Belitung. Mitranya, PT Koba Tin, mendapatkan areal KP sekitar 41 ribu hektare. Di samping kedua perusahaan itu, penambangan juga diusahakan oleh pengusaha inkonvensional dan masyarakat secara tradisional. Total produksi bijih timah pada 2005 mencapai 42.615,22 ton. 

Tidak dimungkiri, penambagan timah telah memberikan sumbangsih cukup besar dalam pemasukan negara. Namun di sisi lain, aktivitas penambangan juga menyebabkan perubahan bentang alam di Babel. Pengamat lingkungan hidup dari Universitas Bangka Belitung, Dr Eddy Nurtjahya, berkisah di lokasi bekas penambangan akan tampak jelas kolam yang berisi air (kolong) dengan berbagai warna air. Mulai dari yang masih keruh, biru bening, hingga warna kehijauan. 

Di lokasi yang sama juga terdapat hamparan tailing pasir yang menggunung. Komponen tailing pasir pasca penambangan meningkat hingga mencapai 97 persen. Porositas tailing pasir, jelas Eddy, yang selalu tertimpa penyinaran matahari dapat menyebabkan kelembaban tanah berkurang. Bahkan, temperatur tanah bisa mencapai 45 derajat celcius di kedalaman sekitar dua sentimeter pada siang hari. 

Otomatis, berbagai flora dan fauna tanah, termasuk yang bermanfaat bagi tanaman seperti fungi cendawan mikoriza (FMA) dan mikroorganisme pelarut fosfat (MPF) di areal bekas penambangan berkurang drastis. “Dari perubahan tekstur dan struktur tanah tersebut secara nyata menyebabkan menurunnya kesuburan tanah di bumi Bangka Belitung,” ujar Eddy selaku Penasihat Sains Bangka Flora Society, Sungailiat, Bangka. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suksesi alami di lahan pasca penambangan berlangsung sangat lambat. Pepohonan akan dapat tumbuh pada lahan yang berumur sekitar 40 tahun. Tidak hanya itu, akibat dampak penambangan timah di Belitung, lahan atau hutan yang rusak sejak diterapkan UU Lingkungan Hidup 1992, sekurang-kurangnya mencapai 7.500 hektare. Itu belum termasuk luas lahan yang ditambang sebelum tahun 1991 yang tidak terkena peraturan reklamasi. Pun data itu belum termasuk luas lahan akibat penambangan liar dan penambangan rakyat sejak tahun 1998. 

Revegetasi

Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah, setelah lokasi yang selesai ditambang harus direklamasi dan direvegetasi atau disesuaikan dengan peruntukan lahan. Hal tersebut sesuai dengan UU No 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Reklamasi merupakan kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan. Setelah direklamasi, lahan pun dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi juga bertujuan membentuk bentang alam (lanskap) yang stabil terhadap erosi. 

Satu paket dengan reklamasi ada revegetasi atau penanaman kembali tanaman di atas lahan yang pernah ditumbuhi jenis-jenis vegetasi sebelumnya. Revegetasi diawali dengan perataan tailing pasir dan pengembalian overburden dan top soil (tanah humus). Overburden adalah lapian tanah (batuan) yang harus dikupas agar bijih yang ditambang dapat dijangkau dan diolah untuk diambil logamnya untuk keperluan komersial. 

Mengenai pembenahan lahan, selama ini telah dilakukan berbagai upaya atau treatment. Di antaranya, pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai bahan utama kompos, pemberian asam humat (humic acid), dan berbagai pupuk kaya hara. Revegetasi dilakukan dengan menanam tumbuhan eksotis, Acacia mangium, dan menggunakan model tanam sejajar. Ukuran pot tanaman yang dipakai 50x50x50 sentimeter. Namun, upaya tersebut tidak mendukung tercapainya keanekaragaman hayati jika tujuan reklamasi adalah untuk “menghutankan” kembali daerah bekas penambangan. 

Berangkat dari persoalan tersebut, plus besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menerapkan langkah tersebut, Eddy lantas mencari metode revegetasi yang lebih efisien dan efektif. 

Untuk keperluan reklamasi dan revegetasi per hektare lahan, perusahaan tambang BUMN setidaknya harus menyediakan dana 750 dollar AS. “Angka tersebut sebenarnya yang paling rendah. Sebab, rata-rata untuk reklamasi per hektare lahan membutuhkan dana sebesar 2.000 dollar AS,” ungkap Eddy yang juga menjadi Anggota Komisi II (Lahan, Tanah, Air, dan Tanaman) Komite Nasional Indonesia International Irrigation and Drainase (KNI-ICID) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 

Mengenai upaya pembenahan lahan, Eddy menggunakan teknik penelitian sebelumnya. Misalnya, menggunakan potongan sabut kelapa yang memang terbukti mampu meningkatkan kelembaban tanah dan menurunkan temperatur tanah. “Sedangkan penggunaan asam humat dan pupuk kaya hara hingga saat ini masih terus diteliti komposisinya yang tepat,” terangnya. Eddy yang mendapatkan gelar Master di University of Stirling, United Kingdom.

Hemat 20 Persen

Sebagai upaya pemilihan jenis tanaman agar sesuai tujuan penelitian, Eddy mengawalinya dengan mencari jenis tanaman yang memiliki kemiripan dengan lahan pasca penambangan timah. Dari hasil penelusurannya, diketahui ada empat jenis tanaman lokal di Kepulauan Babel yang sesuai dengan tujuan penelitiannya. Keempat tanaman itu, yakni waru atau Hibiscus tiliaceus L (Malvaceae), kayu ara atau rengkat atau Ficus superba Miq (Moraceae), nyamplung atau penaga atau Calophyllum inophyllum L (Clusiaceae), dan jambu hutan atau Syzygium grande (Wight). 

Vegetasi yang memiliki karakteristik berdaun tebal, kaku, dan licin itu ditemukan di hutan pantai jenis formasi barringtonia yang terletak di tepi pantai atau dataran rendah dekat pantai. Tempat tumbuh vegetasi tersebut mirip dengan lahan pasca penambangan timah dalam hal tekstur pasir. Unsur hara dan bahan organik di wilayah tersebut juga relatif terbatas. 

Paket revegetasi penelitian Eddy menggunakan pot yang berukuran 30x30x30 sentimeter, lebih kecil ketimbang ukuran pot standar yang digunakan pada metode sebelumnya. Penggunaan ukuran pot yang lebih kecil bisa menghemat sekitar 20 persen pengeluaran. 

Untuk model tanam, Eddy menggunakan teknik permata (alternating rips). Teknik tersebut dapat mempercepat penutupan tajuk atau penutupan permukaan tanah sehingga mikroklimat (temperatur dan kelembaban) lebih baik. Jarak tanam awal yang mencapai 2.500 batang pohon per hektare relatif lebih tinggi daripada jarak tanam standar yang hanya 625 batang pohon per hektare. 

Selain merapatkan jarak tanam, kecepatan pertumbuhan tanaman pun perlu diperhatikan. Untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dari luar petak penelitian (rekolonisasi alami) dilakukan stimulisasi dengan pemberian tanah top soil (tanah humus) yang tidak tebal. Penanaman tanaman penutup tanah (legume cover crops/LCC) terutama yang berasal dari jenis kacang-kacangan (Calopogonium mucunoides desv) juga perlu dilakukan. Tanaman Calopogonium mucunoides desv terbukti lebih adaptif di tailing pasir dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lainnya. 

Hasil penelitian menunjukkan dalam waktu 12 bulan setelah masa tanam, kualitas tanah yang bisa dilihat dari tekstur, rasio karbon (C), dan nitrogen (N), serta unsur hara dari lahan bekas penambangan timah membaik. Penelitian tersebut juga menunjukkan jumlah jenis pohon dan luas penutupan tajuk tanaman dengan kerapatan tanam 4x4 meter mampu melebihi hasil suksesi alami lahan pascatambang yang berumur 40 tahun. 

Proses Penambangan Batu Bara

Reklamasi Pertambangan


Reklamasi secara awam diartikan sebagai menciptakan daratan baru di lahan yang sebelumnya terdiri dari air. Reklamasi telah dilaksanakan oleh manusia sejak beberapa abad yang lalu.. Misalnya reklamasi Pulau Macau yang dilakukan sejak abad 17 telah berhasil merubah Macau dari sebuah pulau kecil hingga menjadi semenanjung dan dari luas pulau 15 square kilometer pada tahun 1972 menjadi 16.1 square kilometer pada tahun 1983 lalu menjadi 21.3 square kilometer pada tahun 1994 hingga akhirnya menjadi 23.6 square kilometer pada tahun 2000. Bahkan aktivitas reklamasi juga telah dilakuka dalam rangka membangun kota Washington DC, yang dibangun diatas rawa-rawa. Demikian pula Bendungan Aswan yang terkenal di dunia, dibangun melalui reklamasi yang dimulai pada tahun 1902.

Pengertian lain dari reklamasi yang dihubungkan dengan kegiatan pertambangan yaitu suatu usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. 

Istilah lain yang berkaitan dengan reklamasi yaitu rehabilitasi lahan dan revegetasi. Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan. Revegetasi merupakan suatu usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang. 

Berdasarkan keputusan menteri kehutanan dan perkebunan tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan pada BAB 2 PASAL 3 berisi tentang tujuan reklamasi yaitu untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya.